Sabtu, 28 Juli 2007

Lapindo: Ibarat Lumpur di Sumber Air ?

*) Catatan kasus Lapindo

Bagi masyarakat agraris, adanya sumber – sumber air menjadi berkah keterjaminan pasokan air irigasi. Kandungan lumpur yang mengeruhkan air irigasi tidak mengurangi manfaat air itu sendiri yang mendukung keberhasilan panenannya.
Tidak demikian halnya dengan lumpur dari sumur minyak Lapindo di Sidoarjo, bukan hanya mencemari sumur bahkan merendam beberapa desa sekitarnya. Bukannya aliran dolar minyak yang menyejahterakan masyarakat tetapi justru lumpur yang membawa bencana.
Permasalahan meluapnya Lumpur Lapindo adalah masalah bencana alam yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk menanggulangi dan menyelesaikan baik bencana itu sendiri mapun berbagai efeknya. Permasalahan menjadi rancu ketika tambang yang mengeluarkan Lumpur tersebut dikelola bukan oleh negara tetapi oleh swasta (PT Lapindo Jaya), sehingga perusahaan tersebut harus bertanggungjawab terhadap kesalahannya.
Nyata bahwa kesalahan pengelolaan sumber daya alam (tambang minyak) oleh pihak swasta sebagai buah pemikiran privatisasi tersebut membuahkan berbagai permasalahan. Hasil tambang yang seharusnya dikelola negara untuk kemakmuran rakyat, justru dinikmati oleh pihak swasta. Artinya negara yang mempunyai kewajiban mensejahterakan rakyat tidak mendapatkan pemasukan hasil tambang secara penuh. Sebaliknya PT Lapindo sebagai perusahaan mempunyai misi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari usahanya, di sisi lain tidak mempunyai kewajiban langsung dalam hal mensejahterakan rakyat.
Permasalahan menjadi rumit ketika penambangan membuahkan bencana. Di satu sisi penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab negara, di sisi lain pengelola tambang sumber bencana adalah PT Lapindo. Memang PT Lapindo sebagai pengelola harus bertanggung jawab terhadap akibat negate yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap masyarakat sekitar. Akan tetapi ketika berupa bencana alam maka apakah perusahaan juga harus bertanggung jawab ? Tidak mudah untuk menjawab permasalahan ini mengingat faktanya PT Lapindolah yang mengelola usaha tambang yang berbuah bencana alam tersebut.
Hal ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita, bahwa ide privatisasi dalam pengelolaan sumber daya alam membuahkan kerumitan yang pelik dalam mengatasi bencana yang ditimbulkannya. Belum lagi kita melihat kerugian rakyat oleh sebab ‘lari’nya sumber pemasukan negara. Alih-alih rakyat tersejahterakan oleh hasil kekayaan negara yang dikelola oleh swasta, justru dalam kasus Lapindo rakyat terkubur masa depannya oleh Lumpur bencana.
Dalam upaya mencari penyelesaian terhadap suatu permasalahan yang sudah sedemikian rumit dan sudah berlarut tiada tentu diperlukan terobosan paradigmatic yang boleh jadi keluar dari konsep dan system yang ada.
Dari khasanah hikmah Islam ada sebuah kisah yang bias kita cermati tentang kebijakan dalam hal pengelolaan sumber daya alam yang berujud tambang. Diriwayatkan bahwa ada seseorang yang mengajukan kepada Nabi Muhammad Saw selaku kepala negara agar diberikan ijin untuk mengelola sebuah tambang garam, dan diberikan ijin. Setelah orang tersebut pergi ada orang lain yang menyampaikan kepada Nabi bahwa tambang tersebut adalah tambang yang besar, sehingga pengelolaanya hanyalah ibarat menagguk air yang mengalir. Mendengar penjelasan tersebut Nabi membatalkan dan menegaskan bahwa sumber daya air (alma’u), hutan (kala’u) dan energi (annar) adalah menjadi hak milik rakyat secara bersama-sama dan dikelola oleh negara. Artinya sumber daya alam tersebut tidak diperbolehkan dikuasai oleh perorangan (perusahaan swasta) tetapi harus dikelola oleh negara (perusahaan negara), dengan begitu akan menjadi sumber pemasukan negara untuk kesejahteraan rakyat.
Dengan besarnya pemasukan negara dari sumber daya tambang tentunya negara akan cukup mempunyai dana bukan hanya untuk penanggulangan bencana akibat pengeboran sumur minyak, bahkan untuk penanggulangan berbagai bencana lainnya semisal gempa, gunung meletus, wabah penyakit, atau terlebih dari itu akan mampu menyediakan pelatihan kerja, kesempatan berusaha, lapangan kerja, peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan serta tanggung jawab berat lainnya yang tidak akan mampu diatasi oleh swasta dan tanpa harus bergantung kepada belas kasihan negara lain.
Masalah berat berlarut yang menimpa saudara kita di Sidoarjo bukanlah suatu hal yang berat untuk diselesaikan jika dibandingkan dengan besarnya hasil kekayaan alam kita yang dikantongi oleh para pengeruk sumber daya alam kita semisal Freeport, Newmont, Shell dan lainnya. Ungkapan ‘Hollywood saja seandainya hancur rata dengan tanah akan bisa dibangun seperti semula dari hasil penambangan di Freeport’ tentunya itu bukan ungkapan bualan.
Walhasil, dengan model pengelolaan sumber daya alam oleh swasta seperti saat ini, permasalahan yang muncul sebagaimana halnya dengan kasus Lapindo akan sangat memberatkan semua pihak, baik itu pemerintah, perusahaan yang naas dan terlebih masyarakat. Masalahnya masukah (beranikah) kita mengembalikan paradigma dengan menempatkan pengelolaan sumber-sumber daya alam tambang kepada negara (dibarengi dengan ketegasan pemberantasan korupsi dan pemberatan hukuman koruptor).
Kekayaan sumber daya tambang ibarat berkah air yang mengalir. Kita bisa menangguk sesuai kemampuan dana dan teknologi kita untuk kesejahteraan semua rakyat seraya menyisihkan lumpur yang terikut. Atau justru kita biarkan orang lain menangguk sepuasnya dan kita mendapatkan beban limbah dan kerusakan lingkungannya.
antahkumu bil ‘adli

Tidak ada komentar: