Minggu, 29 Juli 2007

Menuju Konsep Pendidikan Minus Negara ?

*) Catatan Kasus Pungutan Pungutan Pendidikan

Tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin
Nabi Saw tidak hanya memerintahkan ummatnya untuk menuntut ilmu tetapi juga memfasilitasinya. Pernah beliau membebaskan tawanan dengan kompensasi mengajari baca tulis 10 orang muslim. Sahabat memahami misi beliau, begitu pula para khalifah. Para pengajar ilmu diberikan gaji yang sangat tinggi, pengarang kitab diberi hadiah emas setimbang bobot bukunya. Kehidupan Islam kehidupan yang lekat dengan ilmu, ibarat syurga bagi para pecinta ilmu.
Wajar jika Islam di awal hingga abad pertengahan sedemikian jaya, tentu para pengusungnya adalah sdm – sdm yang handal, yang tentu saja bukan sesuatu yang mudah dan tanpa pengorbanan untuk mencetak ketinggian kualitasnya. Sdm berkualitas penopang kejayaan itu mahal. Dukungan negara sangat penting - bagi para pencari ilmu, para guru, para peneliti, para mujtahid, para mujahid, bagi ummat – dari berupa kebijakan sampai pendanaan. Dan itu tidak terlampau sulit bagi negara yang kaya sumber kekayaan.
Bagi negeri yang lemah terlilit, boro boro bicara tentang mendidik sdm berkualitas, sedang untuk kebutuhan pokok yang membubung saja tiada dana tiada daya tiada kebijakan yang mampu mengendalikan. Alih – alih pemikiran dan perilaku masyarakat meninggi mulia, bahkan buah keterlilitan masalah isi perut dan jebakan syahwat meruntuhkan sendi – sendi akhlaq dan moralitas. Sulit mencari teladan jarang yang bisa digugu dan ditiru.
Korupsi dan kolusi yang sempat sedikit reda pun akhirnya menggila lagi, merebak dari pengambil kebijakan tertinggi sampai pelaksana terbawah, merembet dari jalur birokrasi sampai area pendidikan dan nilai. Himpitan kebutuhan di tengah arus hedonisme menggoyahkan pegangan melunturkan nilai. Semakin kecil perbedaan arsitek jembatan dengan perancang kurikulum, antara pembangun jalan dengan pendidik sdm. Mark-up pembangunan gedung bisa kolusi pengadaan buku paket pun boleh. Giliran orang tua siswa yang pontang – panting nabrak sana sini nyabet sana sini untuk menutup pungutan itu iuran ini.
Pendidikan memang harus ditebus dengan mahal. Tetapi kepada siapa masyarakat akan mengadu mahalnya biaya pendidikan, kepada siapa guru mengadu mahalnya biaya hidup, kepada siapa pula penyelenggara pendidikan mengadu mahalnya biaya operasional. . . . jika pemerintah sebagai benteng aduan terakhir malahan menyerahkan nasib kita kepada jeratan utang dan menggadaikan kekayaan alam kita kepada kapitalis asing. Walhasil tiada akan pemerintah mempunyai cadangan dana yang cukup untuk pendidikan.
Disiapkanlah RUU BHP sebagai kelanjutan BHMN, yang akan berlaku dari tingkat perguruan tinggi hingga pendidikan dasar. Dibentuklah Komite Sekolah bukan sebagai perancang arah pendidikan dan kurikulum tetapi lebih sebagai penggalang dana operasional, untuk mengokohkan konsep pendidikan tanggung jawab masyarakat, untuk memuluskan dari sedikit lepasnya tanggung jawab negara. Agar rakyat percaya bahwa pendidikan itu pada akhirnya adalah tanggung jawabnya pribadi. Agar rakyat percaya bahwa negara miskin sebagaimana mereka.
Padahal negeri ini kaya sumberdaya alam, yang kalau dikelola negara dengan baik akan cukup untuk membiayai pendidikan di seluruh negeri ini. Jika terjadi, itulah tanggung jawab negara terhadap pendidikan rakyatnya. Tetapi saat ini arahnya adalah pada konsep pendidikan minus negara. Mau ?
. . . antahkumu bil ‘adli . . .

Tidak ada komentar: