Selasa, 07 Agustus 2007

Tanam Padi atau Impor Nasi ?

Beras sudah merupakan makanan pokok rakyat di negeri ini. Kebanyakan dari kita tetap merasa belum makan sebelum makan nasi. Sayangnya anjuran diversivikasi pangan justru salah arah karena alternative yang dikonsumsi masyarakat justru mi instant. Sehingga keterjaminan ketersediaan beras menjadi suatu keharusan.
Swasembada beras saat ini bukan suatu hal yang mudah untuk diwujudkan. Target produksi 2 juta ton tahun 2007 sulit terpenuhi. Kendala muncul dari hulu hingga hilir, mulai tingginya biaya produksi yang muncul dari pupuk, bibit, biaya tenaga kerja dan alsin, obat pembasmi hama penyakit, serta bencana kekeringan. Di sisi lain penyusutan lahan karena berubah menjadi perumahan juga turut berperan.
Sedangkan pada pihak petani ada penurunan minat menanam padi oleh sebab harga jual beras yang tidak bias diandalkan petani padi untuk hidup layak. Pakar Pertanian Dr. Ramantha sependapat bahwa menanam padi saja, secara ekonomis akan kurang menguntungkan, sebab harga beras murah (Bali Post Ahad 5 Agustus 2007). Pendapat senada dikatakan oleh Dr Mochamad Maksum MSc, harga beras di dalam negeri harus menguntungkan petani sehingga akan berimplikasi pada meningkatnya daya beli petani (Republika, 3 Agustus 2007).
Solusi paling mudah untuk menjamin ketersediaan stok beras adalah impor beras. Tetapi tentunya petani padi yang kembali terpukul dan dikalahkan. Wajar jika muncul pertanyaan nakal, jika pertanian kita kurang ‘kondusif’ untuk petani padi sedangkan kita konsumen beras, apakah tidak lebih baik kita impor nasi saja ?
Memang hal ini bukan permasalahan sederhana. Di satu sisi kita membutuhkan beras. Di sisi lain kebijakan saat ini kurang menguntungkan bagi petani padi. Sedangkan kalau kita menuntut ketersediaan stok beras kanal impor yang dibuka. Sebuah lingkaran setan yang selalu memunculkan keuntungan bagi importer.

Mengapa solusi kerawanan beras selalu impor ?
Ketua Komisi IV DPR (Pertanian), Yusuf Faishal menyatakan bahwa UU No7/1996 tentang Pangan hanya mengatur adanya kewajiban pemerintah untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan. Akibatnya kecenderungan yang ada sekarang jika ada kerawanan pangan kita langsung melakukan impor (Republika, 3 Agustus 2007).
Dengan melakukan impor, pemerintah memang telah memenuhi kewajibannya untuk mengamankan stok ketersediaan pangan. Akan tetapi jika impor beras menjadi suatu kebiasaan solusi akan memunculkan permasalahan lain, yaitu akan dikemanakan petani padi kita. Jika petani padi kita cukup berwawasan dan bermodal mungkin mereka tidak masalah, atau bahkan lebih baik nasibnya dengan menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan. Akan tetapi kebanyakan kondisi petani padi kita bukan hanya miskin modal, tetapi miskin wawasan dan miskin lahan. Jika lahan kerja di bidang lain mampu tenaga mereka tidak menjadi masalah, tetapi jika tidak maka berarti ancaman pemiskinan petani, (bisa jadi pengangguran buruh tani).

Konsekuensi Tanam Padi atau Konsekuensi Impor Nasi
Kebijakan peningkatan produksi padi ataupun mau impor nasi saja tidak masalah. Yang lebih penting adalah pemerintah menyadari bahwa kedua pilihan tersebut masing – masing mengandung konsekuensi yang harus ditanggung. Jika kebijakan yang dipilih adalah mendorong produksi padi maka lingkaran setan harus diputus; misalnya dengan pemberian bantuan modal produksi (bisa berupa subsidi) sehingga petani tetap untung dengan harga jual yang rendah ataupun tanpa subsidi dengan konsekuensi beras boleh berharga mahal. Jika kebijakan yang dipilih adalah mempermudah kran impor, maka pemerintah harus banyak memberikan pelatihan usaha, bantuan modal awal dan bimbingan untuk memulai usaha yang lebih menguntungkan.
Adapun pilihan yang disayangkan adalah membuka keran impor sembari menarik tangan dari perlindungan nasib petani, seperti saat ini.

Tidak ada komentar: